Sosialisasi Anak Homeschooling – Alhamdulillah, kami sudah menjalani homeschooling hampir 4 tahunan. Kami memang memilih untuk menjalankan kegiatan ini dengan kurikulum sesuai dengan kebutuhan. Dengan kata lain tidak mengikuti metode pengajaran yang ada khusus. Melainkan mengikuti minat anak namun sesuai dengan fitrah dan berlandaskan Islam.
Ketika kita ditanya oleh orang lain, ‘anaknya sekolah dimana?’ biasanya respon mereka bermacam-macam. Salah satu pertanyaan yang paling sering saya dapat ketika orang baru tahu dengan pilihan pendidikan anak kami adalah sosialisasi anak homeschooling. Pertanyaan-pertanyaan seperti, ‘Nanti bagaimana teman-temannya? Kasihan dong sendirian aja.’ Terlebih anak kami adalah anak satu-satunya alias tunggal.
Dan beberapa dari mereka bahkan bilang, ‘Nggak disekolahin (formal) aja biar ada temennya?’ Nah ini menurut saya pertanyaan yang agak ajaib. Soalnya tujuan pendidikan bukan sekedar buat mencari teman anak tentunya.
Saya akui kalau perihal kebutuhan sosial anak adalah tantangan buat orangtua praktisi homeschooling. Terlebih anak saya ketika memasuki usia 7 tahun sudah ada kebutuhan sosial. Saya merasakan anak membutuhkan teman-teman yang lebih mengerti dunianya sendiri.
Mungkin kalau di sekolah formal, di sekolah sudah ada anak-anak sepantarannya yang berpotensi jadi temannya. Orangtua bisa sedikit ‘membiarkan’ anak mencari teman di sekolah dengan sendirinya.
Tapi di sisi yang sama, di sekolah formal kita tidak bisa selalu mengamati langsung proses anak berinteraksi dengan anak-anak yang berpotensi jadi teman-temannya. Dari banyaknya kasus bullying dan penyimpangan di sekolah formal dari teman-teman dan pihak sekolah, wajar bagi orangtua khawatir dengan treatment anak.
Tentunya, tidak ada yang mau anak mendapat perlakuan demikian. Semoga anak-anak kita selalu dalam lindungan-Nya dan mendapatkan perlakuan yang baik ya. Baik di sekolah formal maupun homeschooling.
Jika kita mengalami kesulitan untuk membuat anak memiliki teman-teman atau lingkungan sosial, tak usah berkecil hati. Karena kebutuhan sosial anak-anak kita sejujurnya juga jadi salah satu pengawasan dan pengurusan orangtua pada umumnya. Jika kita terus belajar dan mengetahui selaknya, insya Allah akan ketemu lingkup sosial yang cocok.
Salah satu anggota keluarga dekat saya pernah mengeluhkan anaknya yang dulu naik jenjang pendidikan dari SD ke SMP sempat kebingungan ketika berpindah sekolah. Ia telah terbiasa berteman dengan lingkungan anak-anak seangkatan yang sama selama 6 tahun. Bagi saya (dan juga praktisi homeschooler lain), itu bisa jadi satu kekurangan dari sekolah formal. Walaupun belum tentu semua anak mengalami kasus yang sama.
Kita tidak bisa menyamakan lingkup sosial anak homeschooling dengan sekolah formal. Saya menyadari ini dari konten Clefiena, ahli homeschooling yang telah menerbitkan buku HS. Beliau membagikan insight bahwa anak homeschooling memiliki lingkup sosial yang berbeda.
Wajar karena sistem pendidikannya saja sudah berbeda. Karena sistem di sekolah formal, anak ditempatkan di kelas bersama anak-anak yang rata-rata berumuran sama dan kurikulum yang sama. Otomatis, lebih mudah berteman dengan anak-anak teman sekelas maupun seangkatan.
Tapi anak-anak homeschooling memiliki lebih banyak peluang berteman dan bersosialisasi dengan orang-orang dengan variasi umur yang berbeda dan latar belakang yang berbeda-beda. Lintas usia, profesi maupun asal muasal. Ini karena semua tergantung dari sumber pelajaran mereka, yang mungkin membuat mereka bisa mendatangi ahlinya langsung maupun tidak terpatok berada di lingkup sosial yang sekelasnya saja.
Nah saya mau share sedikit pengalaman saya perihal cara sosialisasi anak homeschooling. Semoga membantu ya.
Sejatinya memang orangtua adalah titik sentral bagi anak homeschooling. Di luar mempraktekkan pendidikan di rumah, demi kebutuhan anak orangtua sebaiknya present atau hadir untuk berkomunikasi dengan anak.
Meskipun sulit untuk selalu available ngobrol dengan anak dengan adanya pekerjaan, komunitas dan mengurus kebutuhan rumah, tapi hadirlah selalu untuk kebutuhan bicara dengan anak. Usahakan agar tidak mengesampingkan saat anak sedang ingin bercerita atau ngobrol dengan orangtua.
Salah satu contohnya anak saya memiliki bahasa kasih yang membuatnya selalu minta dipeluk. Saya selalu memeluknya jika ia meminta, sesibuk apapun saya. Dengan begitu kebutuhan kasihnya juga terisi sambil juga mengobrol dengannya.
Bahkan dalam membuat materi pembelajaran, kita juga sebaiknya berdiskusi dengan anak agar mengetahui arah minat dan keinginannya.
Oh ya, di rumah saya dan suami memang kebetulan bekerja dari rumah. Mungkin dengan kehadiran suami membantu juga agar jalur komunikasi anak tidak monoton. Saya dan suami juga gemar bercanda. Ini cukup efektif mencairkan suasana dan membuat anak terhibur di saat yang sama.
Salah satu cara yang tergolong mudah (pakai tapi) mendapatkan teman-teman untuk anak. Adalah melalui berteman dengan anak tetangga.
Namun dari pengalaman saya, berteman dengan anak tetangga memiliki seninya sendiri. Pertama, kita belum tentu cocok parenting value-nya dengan tetangga. Hal-hal yang mungkin terlihat remeh seperti kebiasaan bertamu dan adab dengan barang itu sebenarnya bisa menjadi batu sandungan. Memang selebihnya yang lebih penting adalah cara berkomunikasi dan mengatasinya dari sisi orangtua.
Meskipun di sisi yang sama, ada juga pemikiran, ‘Namanya juga anak kecil’. Tapi ada anak-anak yang lebih besar yang sebenarnya perlu diajak lebih baik. Jika tidak, khawatir ke depannya akan menjalar ke siklus yang salah. Namun tentu saja semua sesuai konteksnya.
Jika ada anak-anak tetangga yang value-nya baik dan cocok dengan anak kita, itu bagus banget. Tapi jika tidak, ya wajar karena tiap rumah tidak mungkin 100 persen sama parenting-nya.
Kita bisa juga melibatkan anak pada kegiatan di acara bersama tetangga. Tentunya setiap RT dan RW biasanya memiliki acara-acara bersama. Misalnya acara sosial dan acara 17 Agustusan. Ini tentu harus disesuaikan dengan kemauan dan minat anak. Jika anak juga suka dengan kegiatannya tentu secara alamiah ia akan engage dengan lingkungan dan acara.
Kita bisa memanfaatkan kegiatan ekstrakurikuler dalam mengisi kebutuhan sosial anak. Kegiatan ekskul tentu beragam menyesuaikan dengan bakat dan keinginan anak.
Sebenarnya sudah cukup lama saya mencari kegiatan ekskul seperti olahraga terutama karena anak saya laki-laki. Namun saya belum menemukan hingga kini ekskul olahraga yang pas dan yang sesuai dengan kami.
Namun beberapa kali anak saya mengikuti kegiatan ekstra kurikuler yang membuatnya senang karena ‘bertemu’ teman-teman yang seminat dengannya. Anak saya pernah mengikuti kelas coding dan kelas sains online. Memang tarafnya masih belum bertatap muka langsung tapi cukup baik dalam membuat anak merasakan senangnya berteman.
Satu kelas sains yang ia ikuti terakhir, ia masih beraktivitas online dengan teman-teman sekelasnya usai kelas berakhir. Ia bahkan mau ikut kelas sains lagi jika teman-temannya itu juga ikut.
Alhamdulillah, keluarga kami punya anak-anak yang agak sepantar dengan anak saya. Kebetulan memang mereka tumbuh bersama di masa toddler sehingga memiliki ikatan dekat. Ini terus berlanjut hingga kini.
Mereka kerap bermain bersama offline maupun online (terpisah karena jarak). Alhamdulillah juga keluarga saudara kami memiliki value yang mirip sehingga tidak banyak gesekan atau ketidakcocokan.
Sampai sekarang, lingkup sosial favorit anak adalah sepupu-sepupunya. Berkunjung ke rumah saudara jadi memiliki nilai plus karena anak senang bermain dengan saudara-saudaranya.
Komunitas Homeschooling biasanya memiliki kegiatan-kegiatan dan aktivitas-aktivitas yang memungkinkan anak dan orangtua bersosialisasi. Kegiatannya tentu tergantung tujuannya.
Ada yang fokus untuk kegiatan outdoor, membaca, bermain, playdate dan lain-lain. Untuk mengikutinya memang harus update dengan segala kegiatan komunitas. Apalagi jika kebetulan memang ada di kota yang sama.
Untuk saat ini saya belum pernah sampai mengikuti komunitas homeschooling. Ini karena masih belum menemukan jadwal dan komunitas yang dirasa klop. Namun beberapa rekan praktisi homeschooler suka berbagi kegiatan komunitas HS ini. Ada yang berkegiatan jalan-jalan ke museum, taman, kegiatan bazaar dan sebagainya.
Bagaimana cara menemukan komunitas homeschooling? Kebetulan dari saya ada komunitas HS di grup alumni, bisa juga mencarinya di grup belajar homeschooler islami seperti Klatulistiwa, juga yang cukup terkenal adalah Rumah Inspirasi.
Satu opsi yang bisa kita lakukan demi sosialisasi anak adalah dengan membuat komunitas sendiri. Tentunya membuat komunitas sendiri memiliki komitmen lebih dibandingkan bergabung dengan komunitas yang sudah ada.
Pilihan semua kembali ke orangtua sejauh apa komitmen yang ingin dilakukan demi sosialisasi anak. Tentunya sebagai founder kita memiliki lebih banyak opsi dan keleluasaan dibandingkan anggota dengan tidak melupakan kebutuhan dan karakter anak, juga anggota.
Dari pengalaman saya pernah memulai komunitas, untuk memulai memang energi bisa sangat tinggi. Namun untuk menjalankannya butuh beberapa kepala yang sevisi untuk bisa sama-sama melangkah. Tentunya semua demi semangat homeschooling bersama.
Membuat komunitas dari sejauh pengamatan saya bisa membuat komunitas di kota yang sama, hobby, subjek pelajaran ataupun mungkin kegiatan keagamaan.
Pertanyaan ‘Bagaimana nanti anak mendapatkan teman?’ ketika mengetahui anak kita menjalani homeschooling bisa membuat kita berkecil hati. Namun sebenarnya bukan tidak mungkin anak kita tetap bisa bersosialisasi kok, dengan bantuan atau tidak. Yang penting kita sebagai orangtua harus menjalin komunikasi yang sehat dulu dengan anak.
Memang tidak serta merta langsung menemukan (bahkan dari testimoni penemu Rumah Inspirasi dulu bahkan tidak ada sama sekali komunitas HS), tapi ke depannya jika kita konsisten kita bisa menemukan ‘jalur-jalur’ agar anak kita bersosialisasi. Sebaiknya juga kita melepaskan mindset anak harus berteman dengan yang seumuran atau selevel pendidikannya, melainkan lebih fleksibel.
Semoga tulisan mengenai sosialisasi anak homeschooling ini bisa membantu kita semua. Apakah kamu punya opini atau masukan juga? Share ya di kolom komentar.
Merenung dari Drama Mengenai Frenemy, Sebuah Pembelajaran - Sejak bahas drakor Divorce Insurance (2025), saya…
Black Cat & Golden Retriever Theory dalam Film-film Romantis Terkenal - Ternyata ada istilah baru…
Dilema Tas Branded - Sore itu Rara sibuk mendampingi si kecil ikut kelas online. Mayang…
Cerah Tapi Padat di Taman Safari (Day 2) - Setelah hari pertama agak kecewa karena…
Hujan-Hujan Kok ke Taman Safari (Day 1) - Semenjak acara jalan-jalan tahun 2023, kami masih…
Review Divorce Insurance (2025) & Nostalgia Meteor Garden (2001) - Awal tahun saya ngga banyak…