Cerita Tentang Seragam Nikahan Keluarga

tradisi-seragam-pernikahan.jpg

“Jahitnya nanti sama langganan Tante aja di Jatinegara. Nih udah ada bahannya. Tinggal cari modelnya aja kok.”

Awalnya Tara bersemangat juga mendengar Lola, anak Tante Maya, sepupu Tara akan menikah dalam waktu dekat. Nantinya butuh persiapan ini-itu. Tara siap membantu sebisanya. Namun ternyata Tante Maya menelponnya karena ia anak adiknya yang pertama dan memintanya mengabarkan ke keluarga dan adik-adik Tara bahwa akan ada seragam nikahan keluarga.

Seragam keluarga saat pernikahan memang sudah jadi tradisi. Berpakaian senada di hari yang berbahagia memang nice banget rasanya. Bagai pemanis di hari yang tercinta. Pengerjaannya? Itu bisa cerita yang berbeda lagi.

Lika-Liku Pengalaman Membuat Baju Seragam Nikahan

Tara ingat pertama kali teman kecilnya, Riri, yang menikah pertama kali di geng mereka, menanyakan mau warna apa untuk seragaman nikahannya. Tara agak tersanjung mendengarnya karena it means teman kecilnya menganggap gengnya penting sampai diberikan privilege seragam sendiri. Mencari model dress dan lalu jahit custom sendiri itu sebenarnya seru… awalnya.

Setelah Riri, ada Diana sahabat semasa kuliah Tara yang menikah dan memilih Tara jadi bridesmaid. Ini agak pusing karena Diana memberikan bahan tulle juga selain brokat dan satin. Tara pusing memadankan bahan tulle yang warnanya beda dari warna brokat dan satin itu. Ternyata ujungnya cuma dia yang ‘berhasil’ memadankannya diantara bridesmaid lain. Hasil beribu-ribu browsing model dress. Diana mengaku membeli bahan tulle itu karena ‘impulsif’.

Ketika Chacha menikah, teman satu geng juga dengan Riri dan Tara, mereka juga menentukan seragam sendiri. Namun kali ini rasanya agak tidak menyenangkan. Karena kepepet waktu jam kerja, Tara memilih penjahit di pasar pusat jahit dekat rumah dengan coba-coba. Hasilnya? Dia tiga kali bolak-balik karena minta jahitannya diperbaiki. Di nikahan Chacha, Tara cuma pakai baju itu sejam saja di venue!

Dari situ Tara mulai agak eneg deh dikasih bahan seragaman nikahan. Rasanya banyak waktu terbuang demi baju yang dipakai sebentar saja. 

Kenyataannya memikirkan seragaman pernikahan adalah satu dari hal yang memusingkan di tengah hiruk-pikuk wedding planning. Kesesuaian seragam dengan member lainnya, mix dan match aksesori, memikirkan jahit dimana dan sudah pas atau belum, jadi satu paket dengan kerempongannya. 

Dilema dan Eksekusi

Ketika Tante Maya mengajak jahit di Jatinegara, sementara Tara tinggal di Tangerang membuat Tara dilema sendiri. Dari dirinya sudah malas jauh-jauh ke Jatinegara, belum suaminya bakal jelas-jelas memprotes karena alasan ‘penghulunya aja belum dapat’, ’emang disini ngga ada tukang jahit?’ atau serangkaian protes lain yang sebenarnya secara logika memang ada benarnya.

Tara pikir, pernikahan Lola tidak pakai seragam yang dijahit karena tergolong singkat persiapannya. Dalam 2 bulan saja ketemu calon dan langsung planning menikah! Ketemu jodoh memang tidak disangka-sangka.

Namun menurut Tante Maya baiknya ada seragam yang dijahit untuk ‘kenang-kenangan’. Padahal Lola sendiri sepertinya ngga masalah kalaupun seragaman beli saja. Lola tipe yang mengalah ikut mau orang yang dituakan. Tapi, bisa apa tidak ya adik-adiknya rombongan datang ke Jatinegara? Gimana membuat suaminya kasih izin bisa ke sana?

Belum beberapa hari menuju acara nikahan, kepala Tara sudah cenat-cenut. 

“Iya, Tante.” Tara menjawab semi-terpaksa. Beberapa hari kemudian Tara tidak lagi menanyakan progress penjahitan seragam. Ia lebih memilih ‘menunda’ keruwetan proses jahit ini nanti saja. Berharap ada titik temu dari masalah tukang jahit.

Beberapa hari kemudian Tante Maya seolah ‘tersadar’ dengan situasi Tara yang susah agar bisa jauh pergi ke Jatinegara. Alhamdulillah, tukang jahitnya mau datang ke rumah tante Maya yang nggak jauh dari rumah Tara untuk mengukur badan demi baju. Sementara cuma adik bungsu yang bisa datang ke rumah Tante Maya, lainnya mengirimkan detil ukuran baju masing-masing saja.

Alhamdulillah, begitu baju jadi, jahitannya tidak perlu ada yang diperbaiki atau tambah ini-itu. Tante Maya benar, jahitan tukang jahit ini bagus. Kini, yang Tara harus pikirkan adalah sepatu dan tas, juga make-up (“Harus senada ya sama baju!” pesan Tante Maya).

Tara super lega. Sebenarnya diam-diam, dia juga suka sih berpenampilan cantik di pernikahan (siapa yang nggak?). Dia cuma ‘kenyang’ dan enggan repot-repot jungkir balik demi dress seragaman. Tara harus ‘mengencangkan ikat pinggang’ juga karena ini semua butuh pengeluaran juga kan.

Di hari pernikahan Lola, sekeluarga tampak kompak dan harmonis dengan warna baju senada. Dan yang lebih penting, proses ijab kabul lancar. Lola tampak bahagia bersama pasangannya.

Tentang Tradisi Seragam Pernikahan

Ngomongin tradisi seragam pernikahan, sebenarnya tradisi ini diadaptasi dari Barat. Kabarnya sejarah ada seragam nikahan ini untuk melindungi pengantin dari roh jahat. Pengiring pengantin kabarnya harus berpakaian persis seperti pengantin.

Namun dalam perkembangannya, seragam pernikahan dibuat untuk bridesmaids. Bridesmaids atau pengiring pengantin juga bertugas membantu pengantin dalam persiapan pernikahan. Di Indonesia sendiri, rasanya budaya ini tidak harus dilakukan. Seragam pernikahan menjadi memang sebagai seragam saja, untuk keluarga maupun orang terdekat. Budaya pengiring pengantin juga membantu persiapan pernikahan itu tergantung budaya dan kepercayaan pengantin wanita. 

Meskipun seragam pernikahan membuat penampilan sekeluarga kompak dan harmonis, dalam pengerjaannya banyak dari kita yang ‘terjerumus’ dengan repot persiapannya. Bahkan bersitegang karena memilih detilnya. Tapi sebenarnya yang utama adalah kelancaran hari H pernikahan, proses ijab kabul dan kebahagiaan pengantin (karena ini kan hari pengantin, bukan cuma hari keluarga). 

Mengenai proses persiapan pernikahan, kita hidup di jaman dimana semua serba ada dan bisa dilakukan. Termasuk dalam rencana perayaan pernikahan, you can do a lot sih menambah ini-itu agar sempurna dan hari menjadi lebih wuahh tapi sebenarnya tidak perlu semua dilakukan. Apalagi kalau sudah menyangkut budget

Di buku Muhammad : Kisah Hidup Nabi Berdasarkan Sumber Klasik yang ditulis Martin Lings, saya sendiri tercenung membaca tentang pernikahan Nabi Muhammad dan Aisyah. Dikatakan di buku itu, tamu dan pengantin hanya bergiliran meminum susu dari wadah. Sisanya semua digelar sederhana. Cuma susu! Baca itu saya setengah takjub dan malu dengan kerempongan kita di masa kini dengan perintilan pernikahan. 

Penutup

Demi Nulis Kompakan Mamah Gajah Ngeblog yang bertemakan Tradisi saya menulis ini. Kisah Tara dan Tante Maya adalah fiksi. Mohon maaf jika ada kesamaan nama, karakter dan cerita.

Semoga tulisan ini memberi manfaat.

This Post Has 10 Comments

  1. Diah

    Wah… bisa seribet itu yaa persiapannya. Saya cuma mikir, seragaman pas nikahan itu buat mengidentifikasi keluarga pengantin, supaya gampang nyarinya di tengah keramaian para undangan.

  2. DIP

    Bagian yang menyakitkan di bagian seragam nikah adalah biayanya hahaha. Nggak tahu di cerita Tara bagaimana, tapi kalau di kebiasaan kami ya kain dari yang punya pesta, tapi uang jahit ditanggung masing-masing. Padahal kan ya jadinya berat juga lho, belum lagi kalau mau dipayet dan lain-lain.

    Apalagi kalau di orang Batak yang sodaranya buanyak (semua terhitung sodara), bisa-bisa hampir tiap bulan dapat kebagian jahit seragam, dan kebaya warna pink muda, pink tua, pink pucat, dan sejuta warna lainnya berjejer di lemari – nggak pernah kepake lagi.

    Tante-tanteku sekarang udah lebih simple taktiknya, kalau ada nikahan, hanya saudara langsung saja yang diberi seragam. Sepupu dan yang lain dikasih tahu aja nuansanya warna apa, anyway mereka pasti dah punya warna itu di koleksinya!

  3. DIP

    Wah bener nih, ini sekarang udah jadi tradisi di dalam pernikahan berbagai adat di Indonesia ya, harus pakai seragam.

    Bagian yang menyakitkan di bagian seragam nikah adalah biayanya hahaha. Nggak tahu di cerita Tara bagaimana, tapi kalau di kebiasaan kami ya kain dari yang punya pesta, tapi uang jahit ditanggung masing-masing. Padahal kan ya jadinya berat juga lho, belum lagi kalau mau dipayet dan lain-lain.

    Apalagi kalau di orang Batak yang sodaranya buanyak (semua terhitung sodara), bisa-bisa hampir tiap bulan dapat kebagian jahit seragam, dan kebaya warna pink muda, pink tua, pink pucat, dan sejuta warna lainnya berjejer di lemari – nggak pernah kepake lagi.

    Tante-tanteku sekarang udah lebih simple taktiknya, kalau ada nikahan, hanya saudara langsung saja yang diberi seragam. Sepupu dan yang lain dikasih tahu aja nuansanya warna apa, anyway mereka pasti dah punya warna itu di koleksinya!

  4. Risna

    Ini fiksi tapi nyata ya. waktu aku menikah, aku menolak memberikan seragam tapi akhirnya ada beberapa sepupu yang beli sendiri apa yang mereka memang mau. Aku juga cuma dapat seragam sekali, dan tentu saja tidak pernah dipakai lagi. Jadi memang seragam ini sering malah jadi merepotkan. mudah2an ke depannya ga perlu dipaksakan seragam2 ini, uang jahit lumayan juga kan

  5. Sri+Nurilla

    Membaca cerita Andina, saya jadi teringat seringkali melihat di Instagram-nya orang-orang populer, mereka kalau menikah, pastii para bridesmaids-nya seragaman. Ehehehe. Kalau dilihat di foto-fotonya, memang terlihat bagus dan apik ya. Estetik pokoknya.

    Cuman ya itu tadi, seperti kisah Tara, riweh dan sangat menyerap energi.
    ***
    Saya sndiri dulu pas menikah, gak pake acara gitu-gituan ehehe. Semua bebas datang dengan pilihan baju masing-masing. Mau ngasi kain, kok gak enak, nanti malah memberatkan, karena biaya jahit kan tidak murah juga.

    ***
    Seru membaca cerita Mamah Andina ehehe. 🙂

  6. Nessia Adista

    Kisah Tara itu nyata sih sebenernya. Hehe.. Karena saya dan saudara-saudara saya juga begitu. Dulu pas pertama kali ada sepupu yang nikah, rasanya seru banget nyiapin seragam nikahan. Seneng banget juga pas pakenya, berasa cantik aja gitu pake baju cantik, make up. Tapi lama kelamaan makin terasa rempong dan mahalnya. Harus mikirin model, cari jilbab yg cocok, dan nyiapin biaya jahitnya. Sekarang ini kalau nggak dikasih bahan untuk seragam malah seneng, jd nggak usah jahit. Kalaupun mau seragam dengan kakak/adik kandung, beli aja yang murah di Shopee. Hehehe..

    Pas saya nikah, saya sengaja ga ngasih seragam utk sepupu ataupun teman2, biar ga pada pusing. Hehe.. Lagian yang penting sih kan pada datang, mendoakan, dan foto. Tapi kalau keluarga inti, kakak dan adik kandung (plus ipar dan ponakan), baru deh diseragamin. Karna kalo foto keluarga inti biasanya dipajang di rumah, jd perlu hasil foto yang lebih cantik dan rapi dengan seragam.

  7. May

    Andina, suka banget dengan tulisan ini, seru. Dan sama seperti Tara, aku suka tapi ga mau ribet, dan sejujurnya lebih suka pernikahan yang sederhana, lebih berkesan.

    Tapi ya kadang serba salah juga ya, dikasi kain nanti keluarga harus jahit, ga dikasi juga jadi omongan hehe. Makanya aku pengen jadi orang tua yang sederhana aja ntar kalau udah saatnya menikahkan.

  8. Hani

    Jujur, waktu aku nikah, ortu ngasih seragam buat pager² ayu . Yg cowo disewain baju Jawa.
    Pas anakku nikah, engga beli kain, tapi beliin baju jadi di grosiran, cuma buat yg jaga buku tamu. Kalau temen²nya anakku janjian sendiri pake dresscode senada.
    Nah…yg repot, pas temen mantu, ngasih kain. Ini “merepotkan” benernya. Selain ongkos jahit, penjahit suka telat. Pernah nih smp drama, aku nungguin depan pintu tempat jahit, nunggu bajunya diselesain. Soalnya mau dipakai besok…haha…

  9. restu eka

    Wah ini tulisannya mewakili isi hati sekali. Suka merasa dilema kalau terima seragam undangan, karena di satu sisi memang ribet, di sisi lain senang karena merasa dianggap. Hehe. Kalau kebaya sih bisa dipakai lagi ke nikahan yang lain ya, tapi kadang memang ada yang ngasih bahan yang aneh seperti bahan-bahan tembus pandang yang pasti perlu kain tambahan. Nggak semua penjahit bisa menggarap dan hasilnya jadi sering ajaib. Haha. Cuma sekarang waktu sudah tidak pernah diundang nikahan kare1na sudah lewat masa teman-teman dan saudara kandung menikah, jadi kangen juga dapat seragam nikahan.

    1. Shanty

      Wah pas banget baru jahit baju seragam kawinan sepupu suami. Memang sih agak merepotkan karena perlu ada biaya jahit, waktu untuk nyari model, sampai nyari penjahitnya. Untung aja nggak sering-sering ada kaya gini. Setahun 2-3 kali aja mungkin bisa cincailah. Tapi kalau sering, kayanya bisa memberatkan juga ya untuk baju yang hanya dipakai sekali aja.

      Saya sih prefer cukup dibilangin aja nuansa warna tertentu. Jadi bisa lebih fleksibel. Sama tentu bajunya bisa kepakai juga buat acara lain.

Leave a Reply