Bermain Clay Seru Dengan Anak

bermain-clay-adalah.jpg

Bermain Clay Seru Dengan Anak – Seperti yang mungkin pembaca blog ini tahu, selain sebagai mom blogger saya juga praktisi homeschooler. Dalam praktek homeschooling sebelumnya saya yang membuatkan dan memilihkan materi yang dipelajari untuk anak. Kadang metode ini berhasil, tapi sejujurnya anak terlihat seperti kurang interest dengan yang dipelajari.

Sebenarnya saya ingin agar anak saya memiliki minat dan inisiatif dalam belajar hal yang memang ia minati. Lalu memulai project-based education sehingga si kecil bisa mandiri belajar, tak harus ‘disuapi’ materi. Begitulah, saya masih memperdalam seni membuat anak suka belajar.

Namun menurut sumber seperti Rumah Inspirasi menyatakan bahwa anak seumuran 6-7 tahun sebaiknya masih didampingi dalam melakukan project-based education. Kitapun sebagai orangtua harus juga memiliki ekspektasi rendah dalam melihat anak belajar dalam hal ini.

Beberapa minggu lalu saya ikutan webinar “Kiat Menyusun Kegiatan di Rumah Berbasis Project” yang diisi Clefiena yang juga menulis buku Homeschooling With Love. Hal yang paling saya ingat dari webinar itu adalah kita sebagai orangtua dapat memulai project based education dengan memilih subjek yang memang diminati anak.

Butuh kepekaan memang untuk melihat minat anak dengan tantangan godaan screen-time dan mainan lainnya. Namun ternyata mudah jika kita sebagai orangtua memperlihatkan subjek-subjek dan referensi yang bisa dipelajari anak. Dari semuanya itu, bisa kelihatan minat anak dimana.

Awal Mula Ingin Main Clay

Mungkin karena saya dulu memang punya background seni dan desain, sehingga sejak anak saya berumur kira-kira 1 tahun kira-kira sudah saya kenalkan dengan cat air. Saya suka berkegiatan seni dengan anak. Begitu sering kami memainkan media cat air hingga si kecil sudah tidak merasa cat air adalah hal yang baru, alias bosan.

Suatu ketika pernah saya ajak untuk main bentuk tanah liat atau clay. Clay merupakan medium seni yang lebih kompleks daripada misalnya mainan lilin. Sepertinya si kecil tertarik. Dia sudah bilang ingin bikin bentuk ini dan itu. Lucunya dia dulu nggak tertarik main mainan lilin karena nggak suka lengketnya.

Namun untuk membeli media tanah liatnya saya agak maju-mundur. Padahal saya sudah browsing di toko-toko e-commerce dan tanya-tanya ke penjual. Tapi saya sempat khawatir salah cara bermain clay. Dari salah beli media tanah liat atau kekurangan tools. Juga kalau sudah beli dan tidak terpakai, lalu tanah liatnya keburu kering bisa jadi mubazir. 

Khawatir juga si kecil ngga minat-minat amat dan otomatis membuat prakteknya kurang efektif. Lalu saya lupa juga kalau ada niatan mau beli tanah liat. Nanti-nanti deh, eh jadi lupa.

Akhirnya saat sedang berjalan-jalan di mal dan mampir ke toko buku, tak disangka saya menemukan toko buku itu menjual sebungkus tanah liat. Kalau tidak salah, ada kemasan yang kecil dan agak besar. Tanpa banyak pikir saya beli saja yang bungkusan agak kecil, karena memang saya sedang mencari bahan dan buku untuk materi homeschooling. Karena mungkin saya malas lagi memesan online dan lebih praktis membeli langsung. Ternyata, mempraktekkannya bersama si kecil seru juga.

bahan bermain clay - www.tulisandin.my.id

Memulai Project Clay

Berbekal pengetahuan minim saya mengenai clay, saya memulai project clay sama anak. Dulu waktu SMP, saya pernah dikasih tugas membentuk tanah liat oleh guru seni. Seingat saya, saya membuat cangkir mug. 

Kemudian saat kuliah pernah juga ada tugas menggunakan tanah liat. Tapi bukan sebagai final akhir. Tanah liat cuma sebagai model. Hasil akhirnya berupa gips. Sebuah tantangan agar tanah liat tetap bentuknya kala itu, karena sebagai mahasiswa kan harus wara-wiri. Dari rumah, lalu ke kampus. Di kampus pun, tiap mata kuliah berbeda tempat. Dari gerbang jalan ke dalam kampus pun lumayan jaraknya. 

Saya ingat seorang teman bawa tugas tanah liat ini pulang ke rumahnya di Jakarta, naik kereta. Tugas ini sudah di-acc dosen yang killer waktu itu. Eh di kereta, tanah liatnya rusak terjatuh atau kena duduk kalau ngga salah. Teman saya itu lantas menangis, haduh… itulah masa kuliah, berat karena satu tugas butuh perjuangan besar. 

Mungkin karena memori yang menyenangkan dan agak seru juga dengan clay membuat saya ingin memperkenalkan si kecil main clay. Oh ya, sebelumnya saya pernah juga sih ajak si kecil mengecat cetakan gips yang sudah jadi. Waktu itu sih si kecil suka. Akhirnya, okelah sebenarnya alasan baru mulai project clay lebih kepada lupa dan tertunda saja.

Membentuk Clay

Setelah beli, nggak langsung eksekusi. Malah ada sekitar 4 minggu sebungkus tanah liat itu tidak disentuh. Karena kalau gak salah saya juga beli cat acrylic dan karena kesibukan tinggi, sehingga ngga berani buka tanah liat (takutnya project setengah-setengah dikerjakan). 

Senin lalu, saya siap membuka tanah liat (termasuk siap repot dan kotor). Saya siapkan beberapa peralatan membentuk tanah liat seadanya: rolling pin, cetakan roti, cetakan telur ceplok, tusukan roti/kue, tutup kaleng toples dan sumpit. Segini aja lumayan lho jadi alat pembentuk tanah liat. Saya juga sediakan alas yang sebenarnya adalah alas potong, tapi multi-fungsi juga kalau butuh permukaan rata.

Mau buat apa? Awalnya si kecil tak punya bayangan dan hanya mengamati. Saya ajarkan membuat bola bulat dengan telapak tangan dan mencetak dengan cetakan kue. Awalnya dia agak gimana karena takut kotor. Tapi saya yakinkan dia bahwa tak apa berkotor-kotor karena nanti bisa dicuci. Ia banyak mencoba-coba bentuk sehingga awalnya belum fix mau membuat apa. 

Saya sendiri sih niatnya mau buat alas gelas atau coaster dengan cetakan seadanya. Si kecil tertarik dan menirukan, kemudian meratakan bentuk dengan rolling pin. Lalu ia putuskan membuat “bulan” yaitu dari tanah liat besar dibulatkan dan diratakan dengan rolling pin. Ia tusuk-tusuk dengan ujung sumpit sehingga seperti permukaan bulan. Voila! Kini tapi ia menamakannya pizza. 

Akhirnya jadi 4 buah karya; dua dari saya dan dua dari si kecil. Si kecil sempat berkata bahwa punya dia kok “jelek” namun saya bilang padanya bahwa karyanya itu unik dan tidak sama dengan yang lain.

mengeringkan clay - www.tulisandin.my.id

Mengeringkan Clay

Setelah saya yakinkan si kecil bahwa karya tanah liatnya sudah “jadi” (dan kalau mau diulik lagi sebaiknya sekarang) dan mau dikeringkan, maka keempat karya tanah liat itu saya tata di baki plastik. Kebetulan tempat kami “berkarya” adalah di sebelah jendela dengan sedikit cahaya matahari yang masuk. Maka sekalian saja disitu baki berisi tanah liat kami berada.

Menurut referensi yang saya baca, sebaiknya tanah liat diangin-anginkan di rak selama 3 hari dan kemudian dijemur 12 jam di bawah matahari. Karena nggak ada rak yang kosong, jadi saya taruh clay bentukan kami itu di meja sebelah jendela saat siang hari. Dan di dalam rak buku ketika malam hari. Kira-kira memang 3 harian sampai saya tidak melihat lagi area gelap basah di dalam tanah liat.

Mungkin kalau ditotal butuh 5 hari sampai benar-benar kering. Berhubung jadwal belajar seni kami adalah hari Senin, sehingga saya sengaja menunggu hari Senin berikutnya untuk masuk ke tahapan selanjutnya. 

Mengecat Clay

Bagian paling menyenangkan sebenarnya adalah bagian… mengecat clay! Di saat yang sama waktu saya beli clay di toko buku, saya juga beli tiga cat acrylic warna primer. Sebelumnya kami baru mencoba cat-cat ini dengan mengecat gelas kaleng dan eksperimen sains yang agak ngga sukses, hehe.

Saya menyiapkan tiga kuas yang kebetulan saya temukan (karena sebenarnya kuas ada beberapa tapi bertebaran di rumah) dengan tiga jenis dan ukuran berbeda. Satu kuas agak besar dengan bulu sedikit kasar, satu kuas kecil dengan bulu standar dan satu lagi kuas refill otomatis. 

Si kecil memilih mewarnai “bulan” buatannya dengan warna kuning dan saya mewarnai cetakan kotak dengan biru. Begitulah kami asyik mewarnai sambil mengaku kalau kami sama-sama menikmati membuat seni bersama-sama. Si kecil bilang ia sangat suka mewarnai clay ini. Masya Allah, saya ikut senang. Sejujurnya saya rindu juga making art yang menyenangkan begini bersama si kecil. 

Si kecil menanyakan ke saya setelah diwarnai semuanya, mau dinamakan apa karya-karya saya (dan dia juga)? Saya namakan si bentuk bunga dengan sunny blue flower. Si kecil menamakan ketiganya; si bentuk bulan dinamakan party pizza, strange castle untuk si kotak yang asimetris karena si kotak rapih buatan saya dia namakan good castle.

Amazing-nya, si kecil tiba-tiba spontan menyenandungkan lagu dengan menyebutkan 4 nama ini. Dan lagunya cukup catchy. Saya kagum juga dengan si kecil nih, tahu-tahu bisa ciptakan lagu sendiri! Masya Allah. Di upload disini nggak ya lagu ciptaan si kecil?

Nah ini dia bentuk karya-karya kami, setelah semingguan memproduksi, mengeringkan dan mengecatnya. Serunya…

Kesimpulan 

Dalam membuat anak suka belajar, memang orangtua harus rajin menggali minat anak. Belajar membuat clay ini cuma salah satunya. Semoga akan ada lebih banyak lagi nih project-project seperti ini. Terima kasih sudah membaca. Semoga tulisannya membawa manfaat.

This Post Has 2 Comments

  1. Hastira

    Seru ya dan banyak manfaat yang bisa diambil dari kegiatan ini. Aku juga pernah bikin clay sendiri buat anak2 didikku

  2. fanny_dcatqueen

    Mba andiiin, menarik ih kegiatannya bikin clay ini 😍.

    Tadi yaa, awal2 aku pikirnya ini dough atau plastisin yg biasa dipake main anak. Ternyata baru inget, clay yg bisa dibentuk2 jadi vas dll itu toh 😁

    Aku blm pernah nih mainin clay samasekali. Jadi dipikir2 mungkin bareng anakku jadi bisa nyiptain bersama aneka bntuk dari clay. Rasanya aku juga bakal suka di part yg mewarnai 😄👍

Leave a Reply